Category Archives: RELIGIUS

Religi Matematika


Sekedar berbagi, dibawah ini adalah RELIGI MATEMATIKA yang mungkin bisa membawa manfaat setelah direnungkan.

1 x 8 + 1 = 9
12 x 8 + 2 = 98
123 x 8 + 3 = 987
1234 x 8 + 4 = 9876
12345 x 8 + 5 = 98765
123456 x 8 + 6 = 987654
1234567 x 8 + 7 = 9876543
12345678 x 8 + 8 = 98765432
123456789 x 8 + 9 = 987654321 Continue reading

Ghaib, percaya tau ga ya…


Dizaman ini, masih aja banyak orang yang percaya dengan hal-hal gaib, palagi itu yang berkaitan dengan sesajen untuk jin atau hantu yang menggangu..
Memang tidak bisa disangkal, bahwa dalam agama manapun, kepercayaan-kepercayaan seperti itu tumbuh dan terkadang lebih diyakini dari pada agama yang dianut sesungguhnya, ini ironis, bahwa dalam hati kita mempercayai yang Satu, namun apa yang diperbuat ternyata jauh dari apa yang seharusnya dilakukan.

Setan, Jin, Hantu maupun yang sejenis lainnya, memang di juga dciptakan, terkadang ada yang mengatakan seiring dengan penciptaan manusia,ada juga yang bilan lebih dulu diciptakan Jin atau setan, dan malah ada yang bilang, kalo itu hanyalah kepercayaan belaka, jika kita percaya, maka adalah mereka itu, jika tidak,maka mereka pun tak ada.

Sangat sulit memang menjelaskan seperti apa sebenarnya kehadiran Jin ataupun setan dimuka bumi ini, tapi ada hal yang bisa kita lakukan adalah tidak mempercayainya layaknya mempercayai adanya Tuhan. Continue reading

ARTIKEL SERIAL RAMADHAN (Bagian ke-26)


I’TIKAF RAMADHAN

1. Ibadah Pengendali & Penyejuk Hati

Memang benar, setiap jiwa ditanamkan kecintaan kepada duniawi, kita
semua merasakan itu. Maka, wajar kalau kita cinta kepada istri-istri
kita, anak-anak, harta kekayaan leimpah, emas, perak, rumah tinggal,
kendaraan mewah. Namun, lebih banar dan lebih wajar lagi kalau
kecintaan tersebut dibatasi rambu-rambu dan keteraturan. Karena jika
tidak demikian, akan terjadi malapetaka bagi kita semua, bahkan bagi
kehidupan itu sendiri.

Manusia adalah makhluk serakah, makhluk yang tak kenal lelah dalam
mencari harta dunia. Ia makhluk yang suka bersaing, memiliki dorongan
syahwat yang kuat terhadap keinginan dirinya. Karenanya, jika manusia
dibiarkan dalam kebebasan tanpa rambu dan batas-batas hidup,
kehancuran dan kebinasaan yang akan dialaminya.

Allah swt. tahu itu semua, karena Dia yang mencipta, Dia pula yang
memberikan kebutuhan hidup baik moril maupun materil. Dia yang
mengatur stabilitas kehidupan, juga yang selalu mengawasi, membantu
manusia dalam menjalankan misi hidupnya. Oleh karena itu semua, Allah
swt. sangat tahu akibat jauhnya manusia dari aturan dan rambu-rambu
kehidupan.

Diantara rambu dan aturan kehidupan untuk manusia adalah syariat Allah
berupa akidah, ibadah, dan muamalah. Karenanya, ibadah-ibadah dalam
Islam diperuntukkan menjaga diri manusia dari ketertipuan duniawi,
ibadah yang berkonotasi taqorrub kepada Allah agar dapat memelihara
hati manusia dari bencana yang dapat menimpa dirinya. Sebab, jika hati
manusia baik dan terarah, maka amal perbuatannya pun akan baik dan
terarah.

Firman Allah swt., “Sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwanya
(tazkiyah an-nafs) dan merugi orang yang mengotorinya” (QS
adz-Dzariyat: 9-10).

Rasulullah saw. menjelaskan isyarat itu dalam sabdanya,

“Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka
seluruh jasad menjadi baik, tetapi jika ia rusak maka seluruh jasad
akan menjadi rusak, ketahuilah segumpal daging itu adalah hati”. (HR.
Bukhari Muslim).

Diantara ibadah pengarah dan pengendali hidup dan kehidupan manusia
adalah i’tikaf. Yaitu menetap di dalam mesjid dengan niat taqarrub
kepada Allah, dengan melakukan amal-amal ubudiyah. I’tikaf merupakan
ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Yang saya ketahui, bahwa tidak
seorang pun dari ulama yang tidak men-sunnahkan (mengatakan hukumnya
sunnah).”

Imam Malik juga mengatakan, “Saya cermati dan analisa (dalil-dalil)
I’tikaf.. Kenapa kaum muslimin banyak yang meninggalkan ibadah ini,
padahal Rasulullah saw. tidak pernah meninggalkannya (di bulan Ramadhan)”.

Imam Az-Zuhri rahimahullah menyayangkan kalau sebagian kaum muslimin
meninggalkan ibadah sunnah ini, padahal Nabi Muhammad saw. sejak
datang ke Madinah tidak pernah meninggalkan ibadah ini sampai akhir
hayatnya.

Rasulullah saw. selalu menghidupkan ibadah i’tikaf, karena beliau
memahami fadhilah (keutamaannya) dan merasakan kesejukkan hati.
Memang, i’tikaf ini merupakan ibadah yang mampu mengarahkan
kecenderungan cinta dunia yang dimiliki manusia. I’tikaf juga mampu
mengingatkan gemerlapan harta kekayaan agar tidak menjerumuskan.

I’tikaf terbukti mampu menuntun manusia untuk menjauhkan diri dari
godaan teman-teman hidup yang selalu mengajak manusia ke jalan
kehancuran dan malapetaka. Manusia akan aman dan tentram dari berbagai
tipu muslihat ‘syetan’ kehidupan.

Secara khusus, Rasulullah melakukan i’tikaf pada sepuluh malam
terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah ra.,
bahwa Nabi saw. selalu i’tikaf pada 10 malam terakhir di bulan
Ramadhan sampai beliau wafat.. Kemudian, sunnah i’tikaf ini
dilanjutkan oleh para istri beliau (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan pada tahun wafatnya, Nabi melakukan i’tikaf di bulan
Ramadhan selama 20 hari (10 malam kedua dan terakhir dari Ramadhan),
sebagaimana diriwyatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Hal itu
dilakukan karena beberapa faktor:

1. Malaikat Jibril mengajarkan Nabi Al-Qur’an pada tahun wafatnya
sebanyak 2 kali, maka sesuai dengan bilangan 20 hari. Sebab pada
setiap tahun biasanya malaikat Jibril hanya 1 kali mengajarkan beliau
Al-Qur’an.

2. Nabi ingin meningkatkan amal sholihnya karena perasaannya akan
kedekatan ajalnya dengan turun ayat-ayat surat an-Nashr. Beliau
memahami ayat-ayat tersebut sebagai perintah Allah untuk memperbanyak
bertasbih dan istigfar karena dekatnya ajal beliau. Demikianlah Nabi
memanjangkan ruku dan sujudnya seraya membaca do’a:
“subhaanakallohumma, wabihamdika, Alloohummagfir lii”, artinya:
“Mahasuci Engkau ya Allah, puji-pujian bagiMu, ampunilah aku ya Allah”
(diriwayatkan Bukhari Muslim).

3. Nabi melakukan i’tikaf 20 hari pada saat itu, sebagai pengungkapan
rasa syukur kepada Allah swt., atas karunia dan taufik-Nya dalam
menunaikan kebajikan dalam kehidupan, seperti kemampuan berjihad,
kesempatan mengajar, melaksanakan shaum, qiyam, menurunkan al-Qur’an,
dan sebagainya.

Allahu Akbar, itulah teladan kita, senantiasa menyadari bahwa usia
panjang yang dikaruniakan Allah handaknya dimanfaatkan untuk
kebaikan-kebaikan. Sebab, apa artinya umur panjang jika penuh dengan
noda maksiat kepada Allah swt.

Suatu keteladanan prima dari seorang Rasul dan seorang anak manusia
pilihan Allah. Ketinggian dan kemuliaan diri yang disandangnya tidak
membuat dirinya lupa. Bahkan, semakin tinggi dan mulia, semakin ia
buktikan syukurnya dan sikap serta perilaku tunduk dan taatnya, yang
dicontohkan dengan bertasbih dan istigfar. Yang mengindikasikan bahwa
ketinggian dan kemuliaan dirinya bukan semata-mata karena dirinya,
tapi semua itu karena ke-Maha-Kuasa-an dan Kehebaatan Allah swt.

Saat i’tikaf, seseorang hendaknya membersihkan pakaian dan tempat
ibadahnya, seperti yang diisyaratkan Rasulullah ketika i’tikaf di
mesjid, beliau mengeluarkan kepalanya ke hujrah (bilik rumah) Aisyah
ra., seraya Aisyah yang sedang haidh itu membersihkan rambut Rasul dan
merapikannya, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Dalam i’tikaf, dianjurkan pula untuk melakukan kegiatan-kegiatan
taqarrub lainnya, seperti tilawah Al-Qur’an, mempelajari hadits Nabi
saw., membaca buku-buku Islam, mendengarkan nasehat dan arahan agama,
tasmi’ (mendengarkan bacaan Al-Qur’an) dan kegiatan lain yang positif
yang tidak membatalkan i’tikaf dan tidak mengurangi nilai kekhusyuan
ibadah di mesjid.

Penulis melihat adanya hal-hal yang ‘ganjil’ dalam masalah i’tikaf,
sekaligus merupakan kekeliruan persepsi, antara lain:

1. Sebagian orang menyangka bahwa i’tikaf itu hanya berlaku di 3
mesjid saja yakni: mesjid Nabawi, mesjid Al-Aqsha dan mesjid Al-Haram
di Mekkah. Padahal, Allah swt. Berfirman,: “dan janganlah kamu gauli
(istri-istrimu) selama engkau I’tikaf di mesjid-mesjid” (QS.
Al-Baqarah: 187).

Lafal “Al-Masajid” (di mesjid-mesjid) berarti dibolehkan di mesjid
manapun. Namun, dianjurkan melakukan i’tikaf di mesjid jami’ (bukan
musholla). Sedangkan hadits: “La i’tikaafa illaa fil-masaajid
ats-tsalaatsah” (tidak ada i’tikaf selain di mesjid yang tiga) seperti
yang diriwayatkan imam Ath-Thahawi dalam bukunya “Misykatul Atsar
4/20” sekiranya hadits ini shahih, ini dapat diartikan sebagai
keutamaan i’tikaf di 3 mesjid ini, karena keutamaan 3 mesjid ini dari
yang lainnya, tidak berarti i’tikaf hanya disyariatkan di tiga mesjid
ini saja.

2. Mispersepsi yang lain adalah anggapan i’tikaf sebagai peluang
bertemu handai taulan, sehingga ada kecenderungan i’tikaf dijadikan
ajang ‘ngobrol’ dengan teman-teman yang jarang bertemu. I’tikaf
berjamaah dibolehkan, bersama keluarga, teman atau famili sekalipun,
namun pertemuan saat i’tikaf tidak boleh dijadikan saat
‘kangen-kangenan’, sehingga membuat gaduh mesjid dan bahkan sangat
mungkin mengganggu yang lain. Imam Ibnu Qoyyim ketika melihat gejala
i’tikaf seperti ini mengatakan, “Ini adalah satu warna (i’tikaf) yang
sangat berbeda dengan i’tikaf Rasulullah saw.” (Zaadul Ma’ad 2/90).

3. Ada kekeliruan lain tentang i’tikaf. Sebagian orang meninggalkan
tugas dan kewajibannya di tempat kerja atau mengindahkan amanat dari
seseorang lantaran ingin melakukan i’tikaf. Sangat tidak adil dan
tidak bijak seseorang meninggalkan yang wajib untuk melakukan yang sunnah.

Semoga Allah swt. memberikan taufik dan kemudahan kepada kita yang
berminat dan berupaya mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah saw.,
sebagai tambahan amalan kebajikan kita dan pemberat timbangan amal
shalih di Akhirat kelak. Allah swt. Berfirman,

“dan berbuatlah, sesungguhnya Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
beriman akan melihat amal kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan
kepada Yang Maha Tahu yang nampak dan tidak nampak, lalu meminta
pertanggungjawaban amal perbuatan kalian” (QS. At-Taubah: 105).

Allahu A’lam Bish-showab.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA
Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA
A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI