ARTIKEL SERIAL RAMADHAN (Bagian ke-13)


MEWUJUDKAN TAKWA BUDAYA DAN PERADABAN DENGAN RAMADHAN

Ternyata, ketinggian peradaban dan kemajuan budaya bukan semata karena
faktor material. Bukan pula hanya karena kemajuan pengetahuan dan
teknologi.. “Di masyarakat tempat berkembang IPTEK (ilmu pengetahuan dan
teknologi), manusia tidak pernah dan tidak akan menemukan hakekat
dirinya. Sungguh kami adalah bangsa yang sengsara, karena
keterbelakangan dan krisis moral. Negara-negara industri yang kini
nampak maju dalam segi materi, sesungguhnya secara perlahan sedang
melangkah menuju kehancuran, kegelisahan dan kesengsaraan hidup”.
Demikian Maurice Buccaile dalam bukunya Manusia Makhluk Misterius.

Lalu, siapa yang dapat menjadi ‘Juru Selamat’ peradaban manusia yang
kini sedang menghadapi permasalahan krusial. Siapa yang mampu menjadi
‘Penentu Arah’ kehidupan manusia. Siapa dan bagaimana umat manusia dapat
mempertahankan eksistensi hidupnya agar lebih bermakna dan memiliki
nilai bagi kemaslahatan bersama? Siapa dan siapa ……?

Seorang pemikir Barat non-muslim Rene Dubos pernah mengungkap isi hati
dan fikirannya dalam tulisannya berjudul “So Human An Animal”
(diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Insaniyatul-Insan”): “Yang dapat
menyelamatkan manusia dari kondisi gelisah dan krisis moral dalam
kehidupan hanyalah hidup beragama”.

Bagi umat Islam, “hidup beragama” adalah beriman, berakhlak mulia,
beribadah dan bertakwa kepada Allah swt. dalam arti seluas-luasnya.
Allah swt. memberikan isyarat bahwa umat Islam pada hekekatnya adalah
ummat yang layak mengusung peradaban umat manusia, firman-Nya,

“Dan demikianlah Kami jadikan kalian (umat Islam) umat yang wasath
(berkeadilan dan terpilih).” (QS. Al-Baqarah: 143).

Allah menegaskan kembali, bahwa umat Islam adalah umat tertinggi dari
umat-umat yang lain dikala mereka merealisasi keimanan yang merasuk
dalam hati sanubari mereka, firman-Nya,

وأنتم الأعلون إن كنتم مؤمنين

“Dan kalian adalah umat tertinggi jika kalian sebagai orang-orang yang
mukmin” (QS. Ali Imran).

Peradaban yang dikehendaki Islam bukan peradaban yang hanya
memperhatikan aspek materi, jasmani dan instink manusia atau kenikmatan
dunia lainnya yang bersifat fana. Peradaban yang diusung umat Islam
adalah peradaban yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, yang
membina relasi antara bumi dengan langit.

Dunia dalam persepsi setiap muslim, diciptakan sebagai sarana hidup dan
kehidupan menuju kehidupan abadi di akhirat. Karenanya, peradaban
manusia yang dibangun Islam adalah peradaban yang menggabungkan unsur
spiritual dengan material, sekaligus menyeimbangkan antara akal dengan
hati, menyatukan ilmu dengan iman, dan meningkatkan moral seiring dengan
peningkatan material.

Untuk membangun peradaban yang dikehendaki Islam itu, Allah tidak
membiarkan manusia terombang-ambing hanya mengandalkan kekuatan akal dan
usaha kemanusiaannya saja. Tetapi, Allah swt. membantu meringankan beban
hidup manusia dalam menentukan arahan dan bimbingan agar mampu membangun
peradabannya di muka bumi.

Karenanya, Allah swt. dengan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Nya mengutus
seorang rasul dengan ajaran yang sesuai dengan kriteria peradaban yang
dikehendaki. Ajaran yang perhatian kepada aspek spiritual dan material,
aspek idealis dan realistis. Ajaran yang rabbani dan insani, moralis dan
konstrukstif, juga yang peduli dengan aspek-aspek individual dan aspek
sosial. Sehingga, terwujud peradaban yang seimbang dan moderat yang
menjadi dasar munculnya ummatan wasathan, yang menuntun umat manusia
menuju hidup berkeadilan.

Untuk keperluan ‘mega proyek’ manusia itu, Allah swt. menurunkan sebuah
Kitab Suci yang berisikan pesan-pesan wahyu yang berfungsi sebagai
pengarah dan petunjuk umat manusia dalam mengusung pembangunan peradaban
yang berkeadilan. Allah swt. menurunkan kitab suci, buku pedoman itu di
bulan suci Ramadhan, sebagaimana firman-Nya,

“Bulan Ramadhan diturunkan padanya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu dan sebagai
al-furqan (pembeda antara yang haq dan bathil)” (QS. Al-Baqarah: 185).

Sebuah bukti konkrit, bahwa mengemban amanat hidup, yakni membangun
peradaban manusia dengan nilai-nilai keadilan dan bermoral, tidak
segampang mengucapkan dan menceramahkannya dengan kata-kata indah
memukau sekalipun. Karena Allah swt. begitu perhatian-Nya, mengutus
seorang rasul berbudi luhur dan berkepribadian tinggi, sebagaimana
memberikan pedoman dan petunjuk berupa Al-Qur’an yang berisi pesan-pesan
sarat makna dan esensi serta aspek-aspek hidup dan kehidupan.

Diturunkannya Al-Qur’an pun tidak di sembarang waktu dan tanpa perhatian
dengan situasi dan kondisi. Tetapi, Al-Qur’an diturunkan pada saat
kesiapan moral spiritual sang penerima tugas, berada dalam kondisi mapan
dan dalam kesempatan dimana umat mendapat kewajiban ilahi dengan penuh
ikhlas dan penuh tanggung jawab. Mengapa …. ???

Karena untuk mengemban amanat pembangunan peradaban yang dikehendaki
Islam, memerlukan manusia-manusia berdaya dan berkualitas, yakni insan
mukmin seutuhnya. Merekalah yang siap menjunjung tinggi dan memberikan
keharuman semerbak bagi peradaban rabbani tersebut.

Mereka itulah orang-orang yang disebut-sebut Al-Qur’an sebagai
“muttaqin”, yaitu manusia mukmin yang multazim (komitmen) terhadap Islam
secara utuh: akidah, ibadah, dan muamalah. Sehingga, kehidupan yang
dijalankannya tidak dengan cara-cara arogan tanpa pertimbangan yang
matang. Manusia yang senantiasa berhati-hati dalam bersikap dan
berperilaku, agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari jalan yang
digariskan “Sang Pemberi” amanat.

Suatu ketika, sahabat Umar bin Khathab ra. bertanya kepada sahabat Ubay
bin Ka’ab: “Maa haqiqat at-taqwa” (apa hakekat takwa?). Sahabat Ubay
balik bertanya kepada Umar ra: “Pernahkah engkau berjalan pada jalan
yang penuh dengan duri ?”. “Pernah” jawab Umar. ra. “Apa yang engkau
lakukan saat itu wahai Umar ?”, Tanya Ubay kembali. Umar bin Khathab
menjawab: “Tentunya aku berjalan dengan sangat berhati-hati”.

Kemudian Ubay bin Ka’ab menjelaskan: “wa dzaalika haqiqat at-taqwa”
(itulah hakekat takwa). Sehingga, Umar r.a memberikan definisi takwa
dengan kata-kata beliau: “at-Taqwa hiya al-masy-yu fil ghobati
bil-hadzar” (takwa adalah berjalan di hutan dengan hati-hati).

Maka, takwa tidak hanya identik dengan rasa takut di dalam mesjid saja.
Takwa harus tercermin pada sikap hati-hati dan takut kepada Allah swt.
dalam semua dimensi kehidupan, keyakinan, ideologi, sosial, politik,
ekonomi, termasuk juga budaya dan peradaban.

Allah swt. merekayasa sebuah syariat di bulan Ramadhan untuk maksud dan
tujuan tertentu. Shaum (bisa dibaca: Shiyam) selama bulan Ramadhan
diwajibkan bagi seluruh orang beriman untuk menunaikannya. Diharapkan,
penunaian kewajiban itu mampu menjadikan para pelaku shiyam menjadi
orang-orang yang bertakwa sejati, yaitu jujur dalam keimanannya, ikhlas
dalam amal ibadahnya, lurus pemikirannya, mulia akhlaknya, santun sikap
dan perilakunya, serta benar, adil, dan ihsan dalam menjalankan
tugas-tugas hidupnya di berbagai aspek kehidupan.

Karenananya, kegitan-kegiatan Ramadhan mengarah kepada pembentukan
manusia yang memiliki kualifikasi kemampuan mengemban misi peradaban
ilahiah, sebagaimana juga memiliki kepribadian utuh dalam aspek ruhian,
aqliah, dan jasadiah.

Dari aspek ruhiah, kita dapatkan berbagai aktivitas Ramadhan yang
membimbing setiap mukmin memelihara dan meningkatkan kerohaniannya.
Sebut saja shalat taraweh atau qiyamullail (shalat malam), tilawah
Al-Qur’an, i’tikaf dan sebagainya.

Dalam memenuhi kebutuhan aqliah, setiap mukmin dapat merasakan nikmat
mendengarkan kuliah shubuh lewat beragam acara di media massa atau
langsung di mesjid-mesjid. Ia juga dapat menghadiri kuliah Zhuhur atau
ceramah tarawih. Atau barangkali ada yang mampu membuat planning program
membaca buku-buku tertentu selama Ramadhan. Semuanya dilakukan dalam
rangka menambah wawasan keislamannya, agar ia dapat melaksanakan ibadah
kepada Allah swt. dengan landasan ilmu, bukan sekadar taklid buta. Juga
bermanfaat untuk menimba pengetahuan umum lainnya yang tidak ia dapat di
luar Ramadhan.

Demikian pula arahan-arahan yang berorientasi jasmani. Dapat kita
cermati dari syariat-syariat selama shaum Ramadhan, seperti: makan
sahur, sebagaimana dalam hadits “Lakukanlah makan sahur, karena padanya
terdapat keberkahan” (Al-Hadits), atau syariat mensegerakan ifthar
(berbuka puasa) dengan makanan yang halal, sehat dan bergizi. Juga
syariat larangan makan dan minum yang berlebihan (isrof) seperti dalam
firman Allah swt., “Makan dan minumlah, jangan berlebihan”.

Jika makna “manusia beradab” adalah ia yang memiliki moralitas agama
yang mulia. Dalam bulan Ramadhan ini, setiap mukmin dilatih selama
sebulan untuk menjadi manusia seperti itu. Karena, ia dilatih selama
sebulan untuk memelihara lisan, bersikap dan berperilaku moralis, serta
mampu mengendalikan hawa nafsunya.

Masyarakat berperadaban adalah masyarakat ideal yang dicita-citakan
Islam, yaitu sosok masyarakat yang diwarnai oleh jalinan solidaritas
sosial yang tinggi, rasa persaudaraan yang solid antara umat manusia.
Masyarakat seperti itu bukan khayalan, bukan sesuatu yang utopis, karena
masyarakat seperti itu pernah wujud di Madinah di bawah bimbingan dan
arahan Rasulullah saw.

Ramadhan merupakan peluang besar untuk melakukan training menjadi
manusia yang adil dan beradab, yakni manusia yang memiliki jiwa sosial
dan solidaritas, manusia bersih dan peduli terhadap lingkungan dan
masyarakat. Pada saat itu, setiap mukmin dilatih melakukan sedekah,
infak atau zakat, sebagai indikasi bersih dan peduli. Ia juga dilatih
untuk dapat merasakan keletihan dan rasa lapar, agar ia memiliki rasa
welas, kasih sayang kepada si miskin papa, tidak bersikap beringas,
keras tanpa ada sedikit rasa kemanusiaan.

Sudahkah kriteria manusia muttaqin itu kita raih? Sudahkah sifat dan
sikap beradab tersebut kita miliki? Sudahkah nilai-nilai Ramadhan
tersebut tercermin pada kehidupan masyarakat dan bangsa kita ?

Tentunya masing-masing yakin, bahwa manusia-manusia yang menjiwai
Ramadhan dalam diri mereka dan shaum yang dilakukan, telah mampu
menjadikan dirinya manusia yang adil dan beradab. Maka, niscaya jiwa dan
hati mereka akan terpanggil untuk membantu saudara-saudaranya yang
tengah mengalami kesulitan dan kesempitan, secara moril maupun materil.

Sumber:
30 Tadabbur Ramadhan, MENJADI HAMBA ROBBANI, Meraih Keberkahan Bulan Suci

Penulis:
Dr. Achmad Satori Ismail, Dr. M. Idris Abdul Shomad, MA
Samson Rahman, Tajuddin, MA, H. Harjani Hefni, MA
A. Kusyairi Suhail, MA, Drs. Ahlul Irfan, MM, Dr. Jamal Muhammad, Sp.THT

Source: IKADI

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda... :)